Draft Rekomendasi Hasil #FGD2012

Setelah diselenggarakannya Focus Group Discussion 2012 (#FGD2012) di Jakarta, 7 Juli 2012 kemarin. Plat-M diwakili oleh Klebunnya Wahyu Alam tergabung dalam kelompok 1 yang membahas Information Diversity (Keberagaman Informasi).  Berikut hasil lengkap diskusi mulai dari kelompok 1 sampai dengan kelompok 4. Rekomendasi ini juga sengaja ditulis sebagai "Draft", karena memang perlu banyak penyempurnan dari kawan-kawan yg langsung aktif terlibat dalam diskusi dalam kolom komentar di bawah ini.


 


Draft Rekomendasi Hasil #FGD2012 (Jakarta, 7 Juli 2012)


(Notulis: @merry_mp / Penyusun: @dreeva / Editor: @donnybu )


Versi 2.0 (22 Juli 2012)



Kelompok 1 : Information Diversity (Keberagaman Informasi)

Dasar Pemikiran:

-          Oligopoli kepemilikan media yang rentan hanya melayani kepentingan golongan/kelompok tertentu/terbatas. Ingat Pemilu 2014 segera tiba. Untuk Radio/TV, padahal menggunakan frekuensi milik publik.

-          Tak cukup tersedianya pilihan informasi bagi publik, dapat dianggap sebagai bentuk pembodohan dan/atau penyensoran yang represif.

-          Tersedianya channel/medium baru (blog, media sosial, dll) via Internet bagi penggunanya untuk berbagi informasi secara online.

 

Isi Diskusi:

Kelompok 1 berdiskusi tentang bagaimana besarnya pengaruh media mainstream dan bagaimana peranan media warga dalam memberikan alternatif informasi. Disebutkan bahwa definisi mainstream disini adalah pelaku industri media yang besar, yang mana penetrasi informasi media mainstream sudah sampai ke daerah marginal. Media mainstream mampu membangun stereotip baik positif atau negatif tergantung kepentingan dan juga mampu menyeragamkan informasi tapi cenderung memperkecil pilihan informasi. Belum beragamnya media mainstream dalam memberikan informasi dikarenakan berpatokan pada pemilik modal, rating, iklan dan bahkan kekuasaan politik. Untuk itu perlu penyeimbang dari media warga/alternatif yang ternyata sudah beragam namun dirasa belum cukup, sehingga kita seharusnya bisa memperbanyak produksi konten/informasi yang positif dengan cara berkolaborasi dengan berbagai komunitas aktivis informasi (blogger, citizen journalist, pengguna media sosial) secara berkesinambungan. Tantangan media warga/alternatif ini yaitu disisi internal, motivasi akan profit yg bisa menurunkan kualitas konten dan konsistensi, dan sisi eksternal penguasa bisa melakukan pengekangan dan juga masih banyak masyarakat yang belum melek media.

 

 

Rekomendasi:

Bagi pemerintah: Perlu penegakan hukum yang jelas dan mampu mendorong perombakan regulasi yang dapat menjadikan warga tidak sekedar sebagai konsumen tetapi juga produsen informasi. Selain itu pemerintah perlu melakukan semacam uji publik sebelum sebuah UU yang terkait dengan aktivitas di ranah Internet di jalankan,

 

Bagi aktivis informasi: Perlu untuk semakin memperkaya khazanah / keberagaman konten di Internet secara berkesinambungan. Blogger sebagai salah satu produsen konten di Internet disarankan untuk dapat berkolaborasi dengan blogger dari daerah lain untuk memperkaya pengetahuan dan pengalaman. Perlu adanya upaya untuk melakukan edukasi (capacity building) yang terus menerus bagi aktivis informasi (blogger, citizen journalist) untuk menjadi lebih paham pada isu-isu spesifik semisal tentang HIV/AIDS.

 

 

Kelompok 2 : Information Asymmetry (Asimetris Informasi)

Dasar Pemikiran:

-          UUD 45 menjamin hak siapapun untuk berinformasi dan berekspresi. Tetapi pada prakteknya, kelompok minoritas (marjinal), kerap ditekan/dibatas ketika ingin gunakan haknya tersebut

-          Kelompok marjinal rentan terstigma dan terhambat ketika berinformasi dan berekspresi, karena faktor perbedaan preferensi seksual, keterbatasan fisik, kondisi kesehatan (penyakit) tertentu, lokasi geografis atau status ekonomi.

-          Asimetris informasi adalah salah satu penyebab keterbelakangan dan ketidakadilan dalam pembangunan suatu negara, khususnya dalam memberikan (kebijakan) pelayanan publik.

 

Isi Diskusi:

Kelompok 2 membahas tentang bagaimana kelompok minoritas/kelompok marginal dalam kaitannya dengan hak berekspresi/berinformasi, sehingga adanya sekelompok yang menguasai informasi dan lainnya tidak. Asimetri Informasi adalah suatu kondisi di mana satu pihak memiliki satu (atau lebih) informasi dari yang lain kemudian menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan (atau pengaruh) dalam transaksi yang mempengaruhi hasil pengambilan keputusan. Asimetri Informasi bisa juga disebabkan oleh Digital Gap. Yang terjadi di masyarakat adalah ada sekelompok orang yang terbatas haknya hanya karena satu dan lain hal misalnya berdasarkan letak geografis (misal: wilayah timur Indonesia), keterbatasan fisik (difable), preferensi seksual (LGBT), mengidap virus tertentu (ODHA), dan juga yang berlatar belakang politik tertentu (eks tapol). Padahal mereka juga memiliki hak yang sama dalam kebebasan berekspresi/berinformasi.

 

Rekomendasi:

Bagi pemerintah:

Peran pemerintah adalah memenuhi hak publik untuk berinformasi dengan cara pemerataan pembangunan infrastruktur telekomunikasi / informasi. Dalam penyusunan kebijakan publik, khususnya yang terkait dengan hak berinformasi, perlu adanya keterlibatan / representasi dari kelompok marjinal. Pemerintah perlu mendorong semakin banyak orang yang tersambung ke Internet, namun tetap dapat berpikir secara kritis.

 

Bagi aktivis informasi:

Aktivis informasi dan komunitas (blogger, pengguna media sosial, citizen journalist) diminta memperbanyak aksi dan kegiatan nyata secara offline untuk menyampaikan informasi, selain melalui online di Internet. Salah satunya adalah melalui aktifitas kopdar, yang intinya adalah mengoptimalisasi segala kanal informasi dan sekaligus memberikan pendidikan tentang hak berinformasi secara tidak langsung kepada publik. Meskipun demikian, komunitas sebagai simpul-simpul dan penyeimabng informasi, diharapkan untuk tetap dapat mandiri dan swadaya (self empowerment). Aktivis informasi juga perlu membuka kesempatan yang luas bagi kelompok marjinal untuk dapat semakin luas berdialog dan berkomunikasi dengan publik. Dengan demikian aktivis informasi juga dapat mengubah pandangan (negatif) masyarakat atas suatu kelompok marjinal tertentu.

 

 

 



 
Kelompok 3 : Information on IPR (Informasi untuk Hak Kekayaan Intelektual)

Dasar Pemikiran:

-          Keberagaman informasi dan kebebasan berekspresi dapat mengakselerasi berkembangnya potensi kekayaan intelektual masyarakat lokal.

-          Di sisi lain, seni budaya lokal pada umumnya bersifat komunal dan berbagi (tidak individual). Sehingga satu karya intelektual tertentu (gerak, suara, benda, dll) dianggap sebagai karya bersama. Padahal konsep Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), adalah kepemilikan secara individual.

-          Kekayaan intelektual yang berbentuk digital memudahkan bagi siapapun untuk menduplikasi ataupun mereplikasinya, baik untuk motif apapun

 

Isi Diskusi:

Kelompok ini membahas bagaimana informasi untuk hak kekayaan intelektual, hal ini terkait hak cipta, aktivitas unduh dan juga salin tempel yang sepertinya biasa tapi menjadi penting. Diskusi pleno pada kelompok ini yang paling lama, banya peserta diskusi ikut memberikan pendapatnya soal ini. Masyarakat kita sudah cukup mengerti dan sebagian melakukan dokumentasi. Untuk konten digital juga sudah paham tapi masih saja tetap dilakukan. Isu tentang HaKI ini menjadi bermasalah ketika pengakuan atas sesuatu yang menjadi haknya tidak didapatkan dan hilangnya keuntungan yang seharusnya didapatkan. Sebaiknya ada pendidikan atau sosialisasi yang tepat kepada masyarakat tentang HaKI ini sehingga bisa terhindar dari masalah tersebut. Dalam diskusi ini disebutkan juga ada 2 tipe HaKI ini yaitu individual dan komunal. Adanya celah yang belum bisa mengakomodir perlindungan HaKI komunal terhadap keragaman budaya bangsa. Jadi, setiap pihak yang berkepentingan dalam melindungi HaKI harus menunjukkan usaha secara proaktif.

 

Rekomendasi:

Bagi pemerintah:

Untuk konten pengetahuan /informasi yang bermanfaat tetapi memiliki hak cipta, pemerintah sebaiknya membeli hak cipta atau lisensinya dan kemudian membagikan konten tersebut kepada masyarakat secara gratis. Pemerintah diharapkan membuat program edukasi yang memacu kreativitas dan sekaligus yang mampi mengarahkan masyarakat untuk menghargai hasil karya/kreasi orang lain. Program tersebut juga perlu untuk mendorong terciptanya masyakat yang produktif. Ketika membuat sebuah program atau kebijakan tertentu, maka pemerintah direkomendasikan untuk mengajak peran serta aktif dari komunitas lokal setempat.

 

Bagi aktivis informasi:

Peran aktivis informasi di sini adalah melakukan upaya melalui kegiatan online maupun offlinenya untuk mendorong pemerintah untuk makin peduli dengan HaKI. Aktivis informasi diminta untuk menghargai HaKI termasuk dalam soal konten digital. Selain itu Perlu semakin luas diinformasikan kepada publik tentang konsep berbagi pakai secara fair, seperti yang diatur dalam model lisensi Creative Commons.

 

 

Kelompok 4 : Information on Transparency (Informasi untuk Transparansi)

Dasar Pemikiran:

-          Peran publik dalam mengawasi pelaksanaan layanan publik oleh negara maupun swasta menjadi sedemikian diperlukan dewasa ini, ketika peran pemerintah menjadi tidak lagi kuat.

-          Masih sangat banyak hal yang dapat menjadi tantangan/penghambat peran informasi untuk transparansi, semisal dari UU yang berlaku, tindakan intimidasi, pengaburan/pembelokan informasi hingga ketidakpedulian masyarakat.

-          Internet menawarkan medium seperti blog, wiki, ushaidi dan media sosial untuk menjembatani kepentingan informasi atas transparansi, dan di sisi lain memungkinkan penyampai informasi untuk tetap melindungi privasinya.

 

Isi Diskusi:

Kelompok 4 melakukan diskusi tentang transparansi dan privasi, Tidak mudah mencari keseimbangan antara privasi vs transparansi. Isu privasi menjadi penting ketika data diri seseorang tersebar luas  sehingga disalahgunakan misalnya oleh sales kartu kredit, penawaran pinjaman finansial, dsb. Selain sosialisasi aturan yang terkait dengan privasi ini belum  banyak, juga ada masalah dengan ketidaktahuan dan/atau ketidakpedulian publik pada isu ini. Adapun dari isu transparansi, tak banyak pula anggota masyarakat yang paham tentang mekanisme dan prosedur permintaan informasi publik. Tantangan lain adalah belum tersedianya contoh fasilitas yang dapat diakses oleh masyarakat maupun pejabat publik untuk mempelajari dan/atau membiasakan diri memahami pentingnya peran keterbukaan informasi publik. Contoh informasi yang sebenarnya menjadi hak publik untuk mendapatkan informasinya misalnya aktivitas yang didanai oleh anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam diskusi ini dibahas juga tentang akun anonim di internet kaitannya dengan kebebasan berinformasi. Anonimitas adalah salah satu hak yang mendasar ketika seseorang beraktifitas di Internet. Perlu disadari pentingnya ruang bagi anonimitas, sehingga dapat mengakomodasi kepentingan freedom of constraint (membebaskan diri dari hambatan) tapi dapat mengidentifikasi freedom of responsibility (melarikan diri dari tanggungjawab). LBH Pers dan/atau Dewan Pers siap membantu advokasi hukum bagi aktivis informasi (blogger, citizen journalist, pengguna media sosial) yang menjalankan kegiatan jurnalistik. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa blogger bukanlah pihak yang dilindungi oleh UU Pokok Pers. Sehingga walaupun ada advokasi hukum tersebut, UU ITE pasal 27 ayat 3 dapat disalahgunakan (abuse) untuk menjebloskan blogger ke dalam sel tahanan oleh pihak yang berkuasa dan merasa nama baik (reputasi)nya dicemarkan dalam sebuah postingan di blog.

 

Rekomendasi:

Bagi pemerintah:

Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif namun mudah dipahami mengenai aturan/perundangan yang terkait dengan hal privasi dan transparansi, misalnya tentang UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pemerintah diminta untuk semakin transparan dalam hal informasi yang terkait dengan mekanisme, pengelolaan dan implementasi sumber dayanya. Aturan tentang privasi dan keterbukaan informasi perlu segera diwujudkan dan dijalankan.

 

Bagi aktivis informasi:

Masyarakat perlu didorong untuk menemukan keseimbangan antara konsep privasi dan transparansi menggunakan muatan dan nilai-nilai kearifan lokal dalam kultur komunal. Sehingga konsep privasi yang terwujud nantinya adalah yang khas Indonesia. Aktivis informasi juga perlu mendorong bangkitnya kesadaran dan optimisme publik dan pemerintah pada peran pentingnya transparansi informasi publik, Salah satu caranya adalah dengan terus memproduksi konten positif melalui media warga atau media alternatif yang diharapkan bisa mengimbangi informasi dari media mainstream. Dengan demikian selain dapat turut menyampaikan banyak informasi, publik juga bisa mendorong transparansi dari pemerintah ketika membuat kebijakan. Dalam hal lain, aktivis informasi diharapkan dapat menjaga privasi nara sumber (ataupun privasi dirinya), jika memang ingin menyampaikan suatu informasi yang sensitif. Blogger harus sanggup bertanggungjawab atas konten yang dipostingnya, jika memang suatu saat terjadi gugatan. Untuk itu perlu adanya kesadaran blogger untuk mengikuti kaidah jurnalistik ketika melakukan peran sebagai citizen journalist (pewartawarga). Aktivis informasi di Internet, diminta untuk melek hukum, misalnya secara proaktif dengan membaca dan mempelajari UU ITE, UU Penyiaran, UU Pokok Pers.


*FGD2012* 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama