Merawat Bahasa Madura dari Ruang Keluarga

[caption id="attachment_3427" align="alignleft" width="230"]Kamus Lengkap Madura Ilustrasi: kamus bahasa Madura[/caption]

Beberapa tahun terakhir, ada fenomena menarik di kalangan para orang tua di Madura. Mereka berlomba-lomba mengajari anaknya yang masih kecil menggunakan bahasa Indonesia dan mengabaikan bahasa lokal tempat mereka tinggal. Ini mungkin perkara sepele, tapi bisa jadi awal keruntuhan bahasa Madura.

Bagaimanapun, anak adalah aset masa depan suatu komunitas masyarakat. Mereka kelak, ketika besar, akan menentukan arah kehidupan tanah kelahirannya. Tak hanya soal bahasa, mereka juga akan ikut andil dalam mensejahterakan daerahnya, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

Bahasa bagi suatu komunitas masyarakat adalah sebuah tanda. Dengan tanda tersebut mereka membentuk suatu identitas. Dan identitas itu menyimpan keunikan dan kearifannya masing-masing. Bahasa menunjukkan suatu pluralitas dalam kehidupan manusia.

Berdasar penelitian dari Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2012, tercatat ada 546 bahasa di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 169 bahasa terancam punah.

Ada banyak faktor yang melatari kepunahan bahasa lokal. Antara lain, semakin sedikitnya para penutur bahasa tersebut. Fenomena yang terjadi di Madura saat ini boleh jadi masuk dalam kategori ini. Para orang tua yang enggan mengajari anaknya berbahasa ibu akan ikut menyumbang makin bengkaknya jumlah generasi masa depan yang buta akan bahasa daerahnya sendiri.

Sudah banyak anak-anak muda Madura yang tidak lagi kenal kosa kata bahasa daerahnya, utamanya bahasa halus. Bilapun masih bertutur dengan bahasa ibu, kebanyakan mereka menggunakan bahasa paling rendah, yaitu enje?-iye atau di atasnya enggi-enten. Sangat sulit menemukan mereka yang fasih berbahasa enggi-bhunten.

Faktor lainnya adalah tidak bergairahnya pengajaran bahasa Madura di sekolah-sekolah. Kalaupun dicantumkan dalam kurikulum, hal itu tidak mencerminkan ghirah melestarikan bahasa daerah. Ia hadir hanya sebagai pelengkap muatan lokal. Ditambah lagi dengan kian menyusutnya tenaga pendidik yang pakar di dalam bahasa Madura.

Akibatnya, para siswa jarang bisa menulis bahasa Madura dengan benar. Kita bisa lihat contoh kecil di jejaring sosial, misalnya. Komentar-komentar yang menggunakan bahasa Madura sering kali mengingkari kaidah penulisan bahasa tersebut. Ada banyak dari mereka yang menukar ?apostrof? dengan huruf ?k? atau menggunakan huruf ?h? secara serampangan.

Faktor inferioritas juga menjadi masalah penting dalam pelestarian bahasa daerah. Kadang kala, orang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa daerahnya karena menganggap bahasa Indonesia lebih tinggi derajatnya, meski yang mereka ajak bicara berasal dari tanah kelahiran yang sama. Di hadapan suku lain, mereka gengsi bertutur menggunakan bahasa Madura karena dianggap sebagai bahasa pedalaman yang tidak modern.

Faktor-faktor di atas barangkali bisa diminimalisir dengan cara mulai melatih anak-anak untuk berbahasa Madura. Mereka harus dikenalkan indentitasnya dari ruang keluarga. Orang tua harus berperan aktif. Hal itu juga agar para orang tua tak bergantung terus kepada lembaga pendidikan, di mana semangat membumikan bahasa Madura masih sangat rapuh. Kalau dari ruang keluarga bisa, ngapain masih nunggu lembaga pendidikan?

 

Referensi:

Akhmad Zaini,?Memperbincangkan Nasib Bahasa Madura, Jawa Pos, Minggu, 25 November 2007

www.kompas.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama