Dalam buku kumpulan anekdot yang berjudul "Folklore Madura" (Progress, 2005), Emha Ainun Nadjib menyebut orang Madura sebagai The Most Favorable People. Pandangan ini berangkat dari pengamatan Cak Nun terhadap selera humor orang Madura yang cerdas dan menggugah pikiran. Lebih sering yang ditampilkan orang Madura adalah humor yang "menyimpang" dari pikiran mainstream.
Cak Nun juga menyebut orang Madura itu lugu. Lugu di sini tidak dalam arti bodoh, melainkan suka mengungkapkan suatu hal yang serius namun tanpa ada satu tujuan di balik tujuan (tak ada udang dibalik batu). Mereka suka berterus terang dan enggan bertele-tele.
Dalam buku yang berjudul "Humor Madura" karya H. Musa MBA. apa yang disampaikan Cak Nun tampak nyata. Buku mungil ini menghimpun humor-humor orang Madura yang diterbitkan oleh Prestasi (kelompok Mizan) tahun 1998. Buku ini cocok dijadikan teman melepas lelah karena humornya yang kocak dan cerdas. Pun, posturnya yang muat di saku membuat ia mudah dibawa ke mana-mana.
H. Musa, penulisnya, mengaku hanya mengumpulkan cerita-cerita tersebut dari berbagai sumber. Penciptanya tetaplah orang Madura, katanya. Wajarlah jika terdapat beberapa humor lawas yang masuk dalam buku tersebut, namun ia tak mengurangi keistimewaan buku ini.
Di sekian banyak hal, faktor kecerdikan dalam berhumor merupakan satu hal yang menjadi ciri khas
orang Madura. Kadangkala bahkan humor tersebut menyangkut keterbelakangan kehidupan mereka. Bila dilihat dari satu sisi, mungkin akan terkesan hal itu menyudutkan orang Madura. Namun, di sisi yang lain ia merupakan upaya mereka membuat satir atas kehidupan yang melarat. Keterbelakangan hidup mereka bagaimanapun adalah hasil dari pembiaran yang dilakukan pengurus publik. Dengan berhumor, orang Madura mencoba mengugat kehidupan mereka yang miskin perhatian.
Simak kecerdikan orang Madura dalam mengkritik pengurus publik dengan cara berhumor. Tulisan tentang ini, misalnya, ada di halaman 23. Berikut petikannya:
BECAK (1)
Polisi: "Becak kamu salah jalan. Goblok, kamu nggak memperhatikan rambu-rambu jalan"
Tukang Becak: "Siap, Pak. Saya memang goblok. Kalau saya pintar, pasti sudah jadi polisi, Pak"
Di halaman 57:
SAPI JAWA
Seorang asal Madura menuntun dua puluh ekor sapi di kota Surabaya.
Polisi: "Kau ini, nuntun sapi begini banyak di jalan raya. Lihat, lalu lintas macet. Dasar Madura...!"
Tukang Sapi: "Siap, Pak. Bapak betul, saya orang Madura. Tapi Bapak perlu tahu, sapi-sapi yang bandel ini adalah sapi Jawa."
Di halaman 41 ada humor seperti ini:
KTP
Seorang yang berasal dari Madura berjualan sate di Jakarta. Pada saat ada razia KTP, dia terkena.
Kamtib: "Mana KTP Bapak?"
Tukang Sate: "Saya belum punya, Pak. Tapi saya membawa surat kawin. Ini, Pak"
Kamtib: "Saya tidak perlu surat kawin. Saya perlu KTP"
Tukang Sate: "Surat kawin ini jauh lebih berharga daripada KTP. KTP cuma ditandatangani Pak Lurah dan fotonya cuma satu. Sedangkan surat kawin ditandatangani oleh kepala KUA, saya dan istri, ada saksi-saksi, dan ada foto dua lembar. Jelas lebih afdhal, Pak"
Dalam buku ini juga ada beberapa humor yang setema, misalnya tentang Jembatan Madura, Becak, Semangka, dll. Sebagai penutup tulisan ini, saya sajikan satu humor lagi yang terdapat di halaman 117.
RADIO TRANSISTOR
Pada waktu ibadah haji, Brudin membeli sebuah radio transistor kecil di Jeddah. Setiap dihidupkan, selalu yang terdengar siaran-siaran dalam bahasa Arab. Karena Brudin tidak pandai bahasa Arab, dikiranya radio tersebut selalu menyiarkan pengajian.
Setelah kembali ke kampung halamannya, Brudin pamer kepada sanak saudaranya bahwa radio yang dibelinya hanya mau menyiarkan siaran pengajian.
Pada waktu radio tersebut dihidupkan di tengah-tengah keluarganya, ternyata yang terdengar siaran bahasa Madura dan lagu-lagu dangdut.
Brudin: "Radio ini aneh. Sewaktu di tanah Arab dia pandai mengaji sampai tamat. Tapi di sini kok jadi bodoh"
Selamat membaca buku ini. (FR/NWA)
@rozijaddung
Cak Nun juga menyebut orang Madura itu lugu. Lugu di sini tidak dalam arti bodoh, melainkan suka mengungkapkan suatu hal yang serius namun tanpa ada satu tujuan di balik tujuan (tak ada udang dibalik batu). Mereka suka berterus terang dan enggan bertele-tele.
Dalam buku yang berjudul "Humor Madura" karya H. Musa MBA. apa yang disampaikan Cak Nun tampak nyata. Buku mungil ini menghimpun humor-humor orang Madura yang diterbitkan oleh Prestasi (kelompok Mizan) tahun 1998. Buku ini cocok dijadikan teman melepas lelah karena humornya yang kocak dan cerdas. Pun, posturnya yang muat di saku membuat ia mudah dibawa ke mana-mana.
H. Musa, penulisnya, mengaku hanya mengumpulkan cerita-cerita tersebut dari berbagai sumber. Penciptanya tetaplah orang Madura, katanya. Wajarlah jika terdapat beberapa humor lawas yang masuk dalam buku tersebut, namun ia tak mengurangi keistimewaan buku ini.
Di sekian banyak hal, faktor kecerdikan dalam berhumor merupakan satu hal yang menjadi ciri khas
orang Madura. Kadangkala bahkan humor tersebut menyangkut keterbelakangan kehidupan mereka. Bila dilihat dari satu sisi, mungkin akan terkesan hal itu menyudutkan orang Madura. Namun, di sisi yang lain ia merupakan upaya mereka membuat satir atas kehidupan yang melarat. Keterbelakangan hidup mereka bagaimanapun adalah hasil dari pembiaran yang dilakukan pengurus publik. Dengan berhumor, orang Madura mencoba mengugat kehidupan mereka yang miskin perhatian.
Simak kecerdikan orang Madura dalam mengkritik pengurus publik dengan cara berhumor. Tulisan tentang ini, misalnya, ada di halaman 23. Berikut petikannya:
BECAK (1)
Polisi: "Becak kamu salah jalan. Goblok, kamu nggak memperhatikan rambu-rambu jalan"
Tukang Becak: "Siap, Pak. Saya memang goblok. Kalau saya pintar, pasti sudah jadi polisi, Pak"
Di halaman 57:
SAPI JAWA
Seorang asal Madura menuntun dua puluh ekor sapi di kota Surabaya.
Polisi: "Kau ini, nuntun sapi begini banyak di jalan raya. Lihat, lalu lintas macet. Dasar Madura...!"
Tukang Sapi: "Siap, Pak. Bapak betul, saya orang Madura. Tapi Bapak perlu tahu, sapi-sapi yang bandel ini adalah sapi Jawa."
Di halaman 41 ada humor seperti ini:
KTP
Seorang yang berasal dari Madura berjualan sate di Jakarta. Pada saat ada razia KTP, dia terkena.
Kamtib: "Mana KTP Bapak?"
Tukang Sate: "Saya belum punya, Pak. Tapi saya membawa surat kawin. Ini, Pak"
Kamtib: "Saya tidak perlu surat kawin. Saya perlu KTP"
Tukang Sate: "Surat kawin ini jauh lebih berharga daripada KTP. KTP cuma ditandatangani Pak Lurah dan fotonya cuma satu. Sedangkan surat kawin ditandatangani oleh kepala KUA, saya dan istri, ada saksi-saksi, dan ada foto dua lembar. Jelas lebih afdhal, Pak"
Dalam buku ini juga ada beberapa humor yang setema, misalnya tentang Jembatan Madura, Becak, Semangka, dll. Sebagai penutup tulisan ini, saya sajikan satu humor lagi yang terdapat di halaman 117.
RADIO TRANSISTOR
Pada waktu ibadah haji, Brudin membeli sebuah radio transistor kecil di Jeddah. Setiap dihidupkan, selalu yang terdengar siaran-siaran dalam bahasa Arab. Karena Brudin tidak pandai bahasa Arab, dikiranya radio tersebut selalu menyiarkan pengajian.
Setelah kembali ke kampung halamannya, Brudin pamer kepada sanak saudaranya bahwa radio yang dibelinya hanya mau menyiarkan siaran pengajian.
Pada waktu radio tersebut dihidupkan di tengah-tengah keluarganya, ternyata yang terdengar siaran bahasa Madura dan lagu-lagu dangdut.
Brudin: "Radio ini aneh. Sewaktu di tanah Arab dia pandai mengaji sampai tamat. Tapi di sini kok jadi bodoh"
Selamat membaca buku ini. (FR/NWA)
@rozijaddung