Nyare malem adalah kegiatan menunggu azan Maghrib di bulan Ramadhan. Dalam bahasa Indonesia, ia searti dengan mencari malam. Orang Sunda menyebutnya ngabuburit. Pertanyaan anekdotnya, apakah malam telah hilang sehingga harus dicari? Sebagai anekdot, tentu saja pertanyaan ini tidak perlu dijawab walau penggunaan frasa nyare malem sendiri mengirim pertanyaan-pertanyaan ke dalam pikiran. Semisal, kenapa nyare malem, bukan adente' malem?
[caption id="attachment_4282" align="alignnone" width="465"] Sumber foto: http://www.republika.co.id/[/caption]
Sampai saat ini penulis belum menemukan sejarah dari mana dan sejak kapan lahirnya tradisi tersebut. Tahu-tahu ia sudah menjadi keseharian orang Madura ketika menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Boleh jadi ia merupakan tradisi orang luar Madura yang kemudian menemukan bentuk dan bahasa lokalnya di Madura. Atau, tradisi ini memang asli Madura dan diadopsi oleh orang luar. Atau pula, di masing-masing daerah memiliki tradisi yang sama dan lahir secara sendiri-sendiri. Apakah ngabuburit lebih tua dari nyare malem? Ataukah sebaliknya? Wallahu a'lam.
Bermacam-macam kebiasaan masyarakat Madura dalam melakukan tradisi nyare malem. Orang-orang di kampung biasanya menghabiskan waktu sore dengan berkumpul di gardu pinggir jalan. Suasana menjadi guyub dan akrab, menunggu azan Maghrib dengan ngobrol bersama para tetangga. Di sana pula kadang ada penjual es cincau dan sayur-sayuran.
Bagi daerah yang dekat dengan laut, orang-orang yang hidup di sana biasanya nyare malem ke pantai. Pantai merupakan tempat yang sangat indah ketika sore menjelang, apalagi bagi pantai yang bisa menyaksikan matahari tenggelam. Hal ini juga yang biasanya dilakukan oleh para penghobi fotografi.
Nyare malem kadang juga dimanfaatkan oleh anak-anak muda dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, misalnya balapan liar. Tentu saja kegiatan semacam itu tidak elok dilihat dan membahayakan. Juga, tidak sesuai dengan nuansa bulan Ramadhan yang seharusnya memperbanyak amal kebaikan.
Saat ini, kegiatan nyare malem sudah banyak variasinya. Beragam aktivitas dilakukan oleh sejumlah kalangan untuk melanggengkan tradisi ini, misalnya bagi-bagi takjil gratis (#OleTakjil) yang dilakukan oleh teman-teman @plat_m Bangkalan baru-baru ini yang bekerja sama dengan @OleOlangResto, atau sharing tentang blogging dan buka bersama yang dilakukan oleh Plat-M RT Pamekasan. Kegiatan semacam ini patut diacungi jempol karena nyare malem yang biasanya hanya ngobrol untuk menunggu bunyi beduk, kini diisi dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Kegiatan positif semacam ini patut dikembangkan dengan variasi yang lebih beragam pula.
Tradisi nyare malem lebih banyak didominasi oleh orang laki-laki dan para pemuda-pemudi. Perempuan yang sudah berkeluarga biasanya ada di dapur untuk menyiapkan menu buka puasa, kecuali bagi mereka yang punya pembantu atau sudah menyiapkannya lebih dulu sebelum melakukan nyare malem.
[caption id="attachment_4282" align="alignnone" width="465"] Sumber foto: http://www.republika.co.id/[/caption]
Sampai saat ini penulis belum menemukan sejarah dari mana dan sejak kapan lahirnya tradisi tersebut. Tahu-tahu ia sudah menjadi keseharian orang Madura ketika menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Boleh jadi ia merupakan tradisi orang luar Madura yang kemudian menemukan bentuk dan bahasa lokalnya di Madura. Atau, tradisi ini memang asli Madura dan diadopsi oleh orang luar. Atau pula, di masing-masing daerah memiliki tradisi yang sama dan lahir secara sendiri-sendiri. Apakah ngabuburit lebih tua dari nyare malem? Ataukah sebaliknya? Wallahu a'lam.
Bermacam-macam kebiasaan masyarakat Madura dalam melakukan tradisi nyare malem. Orang-orang di kampung biasanya menghabiskan waktu sore dengan berkumpul di gardu pinggir jalan. Suasana menjadi guyub dan akrab, menunggu azan Maghrib dengan ngobrol bersama para tetangga. Di sana pula kadang ada penjual es cincau dan sayur-sayuran.
Bagi daerah yang dekat dengan laut, orang-orang yang hidup di sana biasanya nyare malem ke pantai. Pantai merupakan tempat yang sangat indah ketika sore menjelang, apalagi bagi pantai yang bisa menyaksikan matahari tenggelam. Hal ini juga yang biasanya dilakukan oleh para penghobi fotografi.
Nyare malem kadang juga dimanfaatkan oleh anak-anak muda dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, misalnya balapan liar. Tentu saja kegiatan semacam itu tidak elok dilihat dan membahayakan. Juga, tidak sesuai dengan nuansa bulan Ramadhan yang seharusnya memperbanyak amal kebaikan.
Saat ini, kegiatan nyare malem sudah banyak variasinya. Beragam aktivitas dilakukan oleh sejumlah kalangan untuk melanggengkan tradisi ini, misalnya bagi-bagi takjil gratis (#OleTakjil) yang dilakukan oleh teman-teman @plat_m Bangkalan baru-baru ini yang bekerja sama dengan @OleOlangResto, atau sharing tentang blogging dan buka bersama yang dilakukan oleh Plat-M RT Pamekasan. Kegiatan semacam ini patut diacungi jempol karena nyare malem yang biasanya hanya ngobrol untuk menunggu bunyi beduk, kini diisi dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Kegiatan positif semacam ini patut dikembangkan dengan variasi yang lebih beragam pula.
Tradisi nyare malem lebih banyak didominasi oleh orang laki-laki dan para pemuda-pemudi. Perempuan yang sudah berkeluarga biasanya ada di dapur untuk menyiapkan menu buka puasa, kecuali bagi mereka yang punya pembantu atau sudah menyiapkannya lebih dulu sebelum melakukan nyare malem.