Dalam suatu kesempatan, seorang guru saya pernah bercerita mengenai awal pernikahan beliau. Sebagaimana pemuda pada umumnya, beliau merasa belum siap untuk menikah karena tidak punya penghasilan tetap. Pikiran-pikiran khawatir muncul karena membayangkan istri dan anak-anaknya kelak tidak bisa ia nafkahi.
Namun, di luar itu, sang ayah memaksa beliau untuk segera menikah. Terlebih lagi, beliau sudah lulus sarjana. Sarjana merupakan tingkat pendidikan tertinggi di kampung, sehingga ia biasanya dijadikan ukuran seseorang siap menikah.
Karena terus didesak, guru saya tersebut menyampaikan kekhawatirannya kepada sang ayah. Namun, jawaban sang ayah justru membuatnya malu dan tertegun. Si ayah bilang, "Kalau kamu takut menikah karena alasan semacam itu, berarti kamu percuma kuliah dan menjadi sarjana. Ayahmu ini hanya lulusan sekolah dasar dan tak punya apa-apa, tapi kenapa bisa menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi seperti sekarang?"
Apa yang dikatakan oleh ayah guru saya, menurut K. A. Dardiri Zubairi, salah seorang pengamat budaya Madura, lahir dari sebuah filosofi orang Madura, bahwa "pangeran ta' adu'um lako, tape adu'um rizki" (Allah tidak membagikan pekerjaan, tapi membagikan rezeki). Artinya, pekerjaan tidak bisa dijadikan patokan utama dalam hidup karena yang terpenting sebenarnya adalah rezeki. Rezeki tidak melulu soal harta. Ia bisa berupa kesehatan, ketentraman, dan perasaan cukup terhadap apa yang didapatkan.
Tentu saja filosofi ini bukan untuk membuat orang malas bekerja. Bekerja tetap harus karena ia merupakan salah satu usaha mendapatkan rezeki. Toh, Tuhan tidak langsung mengirim makanan ke hadapan manusia, melaikan melalui perantara usaha mereka. Namun, yang ingin ditegaskan darinya adalah jangan kemaruk terhadap harta, karena terkadang ia tidak bersamaan dengan rezeki.
Selain itu, jarang ditemui orang Madura terdahulu menanyakan kepada calon menantu laki-lakinya soal pekerjaan. Pekerjaan bukan prasyarat dalam menikah, tetapi yang terpenting adalah mental. Kalau mental sudah terbangun, otomatis ia tidak akan lari dari tanggung jawab sebagai seorang suami. Pekerjaan bisa mereka dapatkan setelah menikah kelak.
Jadi, orang Madura yang memegang filosofi di atas tak pernah merasa khawatir dengan apa yang akan mereka makan. Makan nasi jagung pun akan terasa nikmat karena rezeki rasa yang diberikan oleh Yang Kuasa.
Namun, di luar itu, sang ayah memaksa beliau untuk segera menikah. Terlebih lagi, beliau sudah lulus sarjana. Sarjana merupakan tingkat pendidikan tertinggi di kampung, sehingga ia biasanya dijadikan ukuran seseorang siap menikah.
Karena terus didesak, guru saya tersebut menyampaikan kekhawatirannya kepada sang ayah. Namun, jawaban sang ayah justru membuatnya malu dan tertegun. Si ayah bilang, "Kalau kamu takut menikah karena alasan semacam itu, berarti kamu percuma kuliah dan menjadi sarjana. Ayahmu ini hanya lulusan sekolah dasar dan tak punya apa-apa, tapi kenapa bisa menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi seperti sekarang?"
Apa yang dikatakan oleh ayah guru saya, menurut K. A. Dardiri Zubairi, salah seorang pengamat budaya Madura, lahir dari sebuah filosofi orang Madura, bahwa "pangeran ta' adu'um lako, tape adu'um rizki" (Allah tidak membagikan pekerjaan, tapi membagikan rezeki). Artinya, pekerjaan tidak bisa dijadikan patokan utama dalam hidup karena yang terpenting sebenarnya adalah rezeki. Rezeki tidak melulu soal harta. Ia bisa berupa kesehatan, ketentraman, dan perasaan cukup terhadap apa yang didapatkan.
Tentu saja filosofi ini bukan untuk membuat orang malas bekerja. Bekerja tetap harus karena ia merupakan salah satu usaha mendapatkan rezeki. Toh, Tuhan tidak langsung mengirim makanan ke hadapan manusia, melaikan melalui perantara usaha mereka. Namun, yang ingin ditegaskan darinya adalah jangan kemaruk terhadap harta, karena terkadang ia tidak bersamaan dengan rezeki.
Selain itu, jarang ditemui orang Madura terdahulu menanyakan kepada calon menantu laki-lakinya soal pekerjaan. Pekerjaan bukan prasyarat dalam menikah, tetapi yang terpenting adalah mental. Kalau mental sudah terbangun, otomatis ia tidak akan lari dari tanggung jawab sebagai seorang suami. Pekerjaan bisa mereka dapatkan setelah menikah kelak.
Jadi, orang Madura yang memegang filosofi di atas tak pernah merasa khawatir dengan apa yang akan mereka makan. Makan nasi jagung pun akan terasa nikmat karena rezeki rasa yang diberikan oleh Yang Kuasa.