Momen Pilpres di Madura

[caption id="attachment_5249" align="aligncenter" width="300"]url sumber: http://osanug.files.wordpress.com[/caption]

Momen pemilihan presiden (Pilpres) selalu membawa suasana baru dalam kehidupan kita. Pada Pilpres kali ini pun, hiruk-pikuk tentangnya sudah mulai terdengar sejak beberapa bulan lalu. Yang paling mencolok adalah semenjak Jokowi menyatakan siap menjadi calon presiden. Kebelakang itu, keriuhan mulai muncul, dan yang paling sering terlihat adalah isu-isu yang tak produktif alias menjatuhkan reputasi masing-masing calon presiden.

Yang membedakan dari periode-periode sebelumnya semenjak era reformasi, tahun ini hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden. Efeknya, keriuhan yang muncul bisa sangat heboh karena masyarakat hanya disuguhi dua pilihan. Kalau tidak nomer 1, ya, nomer 2. Artinya saling berhadap-hadapan, satu lawan satu. Akan sangat berbeda suasananya kalau calonnya lebih dari dua. Gontok-gontokan antar-masing-masing pendukung akan lebih mencair karena serangan tidak hanya dilancarkan pada satu arah.

Lalu, bagaimana dengan kondisi di Madura?

Madura, utamanya di bagian pelosok, tampaknya relatif sepi dari hiruk-pikuk Pilpres. Kalaupun ada, mereka kadang tidak terlalu perhatian karena minimnya informasi yang didapatkan. Sebagai masyarakat yang belum banyak memperoleh pengetahuan lewat media, kecuali televisi, masyarakat di kampung-kampung biasanya menyandarkan pilihannya kepada para kiai atau tokoh masyarakat. Sejumlah kiai biasanya ikut menyerukan untuk mendukung salah satu calon presiden. Itulah yang mereka ikuti.

Keapatisan masyarakat terhadap Pilpres juga diakibatkan oleh faktor jarak dari para calon presiden. Mereka tak mengenalnya, baik secara fisik maupun psikis. Ditambah lagi dengan minimnya informasi yang mereka dapatkan terkait rekam jejak si calon. Berbeda sekali dengan pemilihan kepala desa (Pilkades), misalnya. Masyarakat betul-betul selektif karena para calon sudah diketahui kehidupannya sehari-hari.

Meski begitu, baik Pilpres maupun Pilkades, sama-sama mudah disusupi oleh praktek jual-beli suara. Namun, Pilpres lebih menjanjikan karena masyarakat tak punya ikatan emosional dengan calon yang bertanding. Kebutaan informasi menjadi penyebab mereka lebih memilih yang menawarkan mahar tinggi walaupun rekam jejaknya buruk.

Yang menarik, dari praktek jual-beli suara ini muncul akronim-akronim yang terkesan lucu. Misalnya, tongket yang merupakan akronim dari settong saeket(satu suara = 50.000). Atau, berse akronim dari berres ban pesse (beras dan uang).

Munculnya akronim-akronim semacam itu merupakan respon masyarakat atas fenomena yang terjadi dalam kehidupan mereka. Jual-beli suara bukan hal yang baru dan tabu. Namun, bagi yang masih memiliki hati nurani, sandaran mereka biasanya kepada seorang kiai. Bagaimanapun, sebuatan pulau santri yang melekat ke Madura masih dilestarikan hingga kini, walau mulai memudar dari waktu ke waktu.

Yang bisa diharapkan soal peran aktif dalam Pilpres adalah anak muda Madura di kampung-kampung yang mulai melek informasi. Dengan informasi yang berimbang, mereka bisa mendapatkan pencerahan tentang siapa sebenarnya yang layak memimpin mereka. Bagaimanapun, Madura adalah pulau yang menjadi bagian Indonesia. Dan dari pulau ini banyak kontribusi yang bisa disumbangkan, salah satunya adalah dengan berperan aktif mengikuti Pilpres kali ini.

Salam 10 jari. Karena satu atau dua jari tetaplah tidak sempurna. :)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama