Dan akan dikisahkan pula sebagian dari perjalanan hidup putera ketiga Syekh Abu Syamsuddin yang bernama Syekh Husen. Beliau juga senang bertapa / menjalani tirakat seperti yang pernah dilakukan oleh Ayahanda dan Buyut-buyutnya terdahulu.
Dalam pertapaannya, beliau berniat untuk menghafalkan Kitab Ikhya Ulumuddin. Sampai pada suatu saat, ketika beliau mengakhiri tapanya dan kembali pulang, beliau bertemu dengan kedua saudaranya dan disambut dengan pertanyaan sesampainya dirumah.
Hal ini Husen, apakah kamu sudah hafal Kitab Ikhya' Ulumuddin?. Mendengar pertanyaan kedua saudaranya itu, beliau menjawab dengan senyuman tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tak lama kemudian beliau berjumpa dengan Ayahanda beliau (Syekh Abu Syamsuddin). Sang Ayahpun melontarkan pertanyaanyang sama sebagai sambutan atas kedatangan beliau.
Kali ini Syekh Husen menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata yang lembut dan sopan, Saya tidak hafal tapi saya sudah faham tentang isi kitab Ikhya' Ulumuddin yang saya pelajari. Begitu sederhana jawaban beliau sehingga membuat kedua saudaranya merasa diremehkan dan sedikit marah, karena pertanyaan mereka berikan tidak dijawab awalnya, sedang saat Ayah mereka yang bertanya dijawab oleh Syekh Husen dengan singkat namun padat.
Karena ingin bukti, maka kedua saudaranya mengambilkan Kitab Ikhya' Ulumuddin dan meminta Syekh Husen untuk menghafal kitab tersebut, sedang mereka mencocokkan dengan isi kitab yang mereka pegang tersebut. Baris demi baris diteliti oleh kedua saudaranya disaat Syekh Husen khusuk menghafalkan kitab Ikhlya' Ulumuddin.
Alhasil ternyata Syekh Husen benar-benar hafal isi kitab itu bahkan melebihinya, karena ditambah mengaplikasian atau contoh prakteknya didalam kehidupan secara lisan dalam tiap-tiap makna yang ada dalam kitab Ikhya' Ulumuddin. Dan lagi, ternyata hafalan Syekh Husen yang kuat dan lengkap dengan contohnya disebabkan karena beliau pernah menulis ulang Kitab Ikhya' Ulumuddin karangan IMAM AL-GHAZALI itu tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya.
Syekh Husen kembali bertapa setelah Ayahanda beliau wafat (Syekh Abu Syamsuddin) namun tanpa beliau kali ini tidak seperti biasanya yang terkenal lama seperti yang pernah dilakukan buyut-buyut beliau. Ini desebabkan perubahan zaman, sehingga tempat bertapa yang dulunya sunyi dan tenang kini mulai ramai oleh penduduk-penduduk baru dan rumah-rumah baru bermunculan membentuk komunitas baru.
Setiap bertapa beliau selalu ditemani seorang HADDAM (pembantu) yang setia, dan begitu setianya sehingga dia selalu mengkhawatirkan keselamatan dan ketenangan majikannya dalam melaksanakan hajatnya bertapa. Sampai pada suatu waktu si pembantu menganjurkan agar Syekh Husen segera menghentikan tapanya yang waktu itu menginjak hari yang ke -41. Alasanya karena tentara Belanda sudah mulai memasuki Pulau Madura dan selalu memburu orang-orang yang berpengaruh kuat dalam masyarakat, serta tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi panutan disekitarnya.
Melihat keadaan semacam itu, akhirnya Syekh Husen menghentikan tapanya, beliau pulang kerumah berkumpul bersama keluarga dan berbaur bersama dengan penduduk sekitar, hingga beliau menjadi Pemuka Agama yang Arif dan Bijaksana serta disegani dan dihormati seorang putera bernama SYEKH MUHAMMAD RAMLI yang mana beliau tidak memiliki kesamaan dengan Sang Ayah dalam hal kegemaran bertapa, karena memang kelahiran Syekh Muhammad Ramli seiring dengan bergesernya zaman yang kian modern, kesunyian dan ketenangan sudah tergusur oleh hiruk pikuk khalayak ramai, membentuk komunitas baru dan beranak pinak disana.
Jadi Syekh Husen adalah keturunan terakhir dari SAYYID HUSEN yang mempunyai kegemaran sama dalam menjalani tapa dan itupun tidak berlangsung lama. Sedang keturunan-keturunan yang lain setelah itupun tidak berlangsung lama. Sedang keturunan-keturunan yang lain setelah Syekh Husen, cenderung sudah merantau untuk mencari guru dan menuntut ilmu.