Menyumbat Kapal Laut | Karomah Syaikhona Kholil

Sebagai pemimpin pesantren, Kiai Kholil senantiasa mengimami sholat berjamaah di masjid. Suatu ketika, saat mengimami sholat, tiba-tiba Kiai Kholil keluar dari jamaah sholat menuju halaman masjid. Tangan Kiai Kholil bergerak ke kanan kiri seakan berbuat sesuatu yang meyibukkan. Hal ini tidak dipahami para santri. Mereka hanya berdiam seribu bahasa, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah beberapa hari Kiai Kholil di halaman, lalu kembali mengimami sholat hingga selesai. Beberapa hari berlalu, begitu pula dengan kegiatan pesantren berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi, bagi para santri peristiwa aneh yang tidak dipahami beberapa hari lalu masih tetap menjadi tanda tanya. Para santri tetap penasaran sebelum terpecahkan. Hari demi hari berlalu, tidak ada tanda-tanda pemecahan peristiwa yang selalu diingat itu.

Kejelasan tentang peristiwa tersebut terkuak saat beberapa orang datang dengan membawa bungkusan sangat banyak.

“Mau kemana saudara-saudara ini?”tanya seorang santri kepada tamu yang baru datang.

“Saya mau menemui Kiai Kholil. Seminggu yang lalu beliau telah menolong kami dari musibah bocornya kapal kami,”jawab rombongan yang baru datang itu.

“Seminggu yang lalu?”pikir dantri. Padahal, beberapa minggu lalu Kiai Kholil tidak pernah bepergian, apalagi menyebrangi laut. Akhirnya para santri mengantarkan romongan yang baru datang tersebut kepada Kiai Kholil.

“Ada keperluan apa?”tanya Kiai Kholil menyambut kedatangan mereka.

“Kami ingin mengucapkan terima kasih berkat upaya Kiai yang menyumbat kapal kami yang bocor, sehingga kami selamat. Kami tentu akan tenggelam jika tidak ada Kiai dan harta kami akan hlang begitu saja,:ucap rombongan itu dengan wajah berseri-seri.

Para santri yang sengaja mendengarkan pembicaraan rombongan itu sadar dan mamahami kejadian minggu lalu. Rupanya ketika Kiai mempin Sholat jamaah lalu keluar ke halaman masjid dalam upaya menyumbat kapal yang bocor. Pantas tangan Kiai sibuk bergerak kian kemari.

Tentu didalam setiap kekaromahan Kiai Kholil ini dapat kita ambil hikmahnya. Kita mesti belajar mana yang mendesak mana yang dikesampingkan. Menyalurkan kemampuan baik intelek maupun nurani kepada yang lebih bermanfaat itu sangat baik. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain? :)

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama