#WisataReligiMadura #4: Aer Mata, Makam Raja-Raja Bangkalan


Sekitar 30 menit perjalanan menyusuri indahnya pedalaman Bangkalan, rombongan bergerak ke kecamatan Arosbaya. Sebuah gerbang bercat putih bercat hitam berornamen khas Bangkalan, Madura dengan tulisan Aer Mata terpampang di hadapan ketika rombongan keluar dari dalam bis. Beberapa anak kecil langsung memburu anggota rombongan meminta sedekah. Aer Mata di Arosbaya ini memang banyak pengemis mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Semoga hal ini tidak dijadikan sebuah profesi.


Lagi-lagi kami harus menempuh beberapa anak tangga untuk sampai di makam para Raja-Raja Bangkalan terdahulu. Suasana di area pemakaman terlihat begitu bersih, udara sejuk menembus kulit. Memang daerah ini berada di atas perbukitan. Suara burung berkicau sesekali terdengar merdu di tengah cerahnya cuaca sekaligus menambah kekusyu’an anggota rombongan ketika membaca do’a tahlil di depan makam.



Desain ornamen pada batu yang berada di sisi utara batu nisan membawa kami seolah kembali ke masa lalu.

Makam Aer Mata ini dilakukan pemugaran terakhir kalinya pada 28 Maret 1987 dan diresmikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia saat itu Prof. Dr. Fuad Hassan.

Berikut sejarah terbentuknya makam Aer Mata:
Alkisah tersebutlah pada jaman dahulu, pada jaman pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Pada suatu hari beliau kedatangan rombongan dari Sampang Madura yang dipimpin oleh panembahan Juru Kiting. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk menghadapkan seseorang yang bernama Raden Praseno yaitu salah satu putra Raja Arosbaya yang bernama Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah.

Setelah maksud kedatangannya dijelaskan kepada Sultan Agung tentang asal-usul Raden Prasero, kemudian beliau merasa sangat iba dan menaruh rasa sayang kepada Raden Prasero. Hal ini disebabkan antara lain karena ia telah ditinggalkan oleh ayahnya ketika ia masih kecil.

Karena itulah kemudian Raden Prasero mendapat kepercayaan dan diangkat untuk menjadi raja dan diberi kekuasaan di Arosbaya, berkedudukan di Sampang dengan mendapat gelar Pangeran Cakraningrat I menggantikan pamannya yang bernama Pangeran Mas.

Beliau memiliki seorang permaisuri yang bernama Syarifah Ambami.

Walaupun Pangeran Cakraningrat I ini memerintah di Madura, tetapi beliau banyak mengahbiskan waktunya di Mataram, membantu Sultan Agung. Sedang pemerintahan  di Madura, selama beliau berada di Mataram, tetap berjalan lancar.

Melihat keadaan yang demikian istrinya Syarifah Ambami merasa sangat sedih. Siang malam beliau menangis meratapi dirinya.

Akhirnya beliau bertekat untuk melakukan pertapaan. Kemudian bertapalah beliau disebuah bukit yang terletak di daerah Buduran Arosbaya.

Dalam tapanya itu beliau senantiasa memohon dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa, semoga ketururnannya kelak sampai tujuh turunan dapat ditakdirkan untuk menjadi penguasa pemerintahan di Madura.

Dikisahakan pula bahwa dalam pertapaannya itu beliau bertemu dengan Nabi Haedir AS. Dari pertemuan itu pulalah beliau memperoleh kabar bahwa permohonannya Insyallah dikabulkan. Betapa senangnya hati beliau, akhirnya beliau bergegas pulang kembali ke Sampang.

Selang beberapa lama kemudian Pangeran Cakraningrat I datang dari Mataram. Diceritakanlah semua pengalamannya semenjak suaminya berada di Mataram, bahwa beliau menjalankan pertapaan dan diceritakan pula hasil pertapaannya kepada Pangeran Cakraningrat I.

Setelah selesai mendengarkan cerita istrinya itu, Pangeran Cakraningrat I bukanlah merasa senang, akan tetapi beliau merasa bersedih dan kecewa terhadap istrinya, mengapa beliau hanya berdoa dan memohon hanya sampai 7 turunan saja.

Melihat kekecewaan yang terjadi pada Pangeran Cakraningrat I ini, beliau merasa berdosa dan bersalah terhadap suaminya.

Setelah Pangeran Cakraningrat I kembali ke Mataram, beliau pergi bertapa lagi ketempat pertapaannya yang dulu. Beliau memohon agar semua kesalahan dan dosa terhadap suaminya diampuni.

Dengan perasaan sedih beliau terus memjalani pertapaannya. Benliau selalu menangis, menangis dan terus menangis, sehingga air matanya mengalir membanjiri sekeliling temapt pertapaannya, sampai beliau wafat dan dikebumikan ditempat pertapaannya, yang sampai sekarang kita kenal dengan nama : MAKAM AER MATA.

Selesai berkunjung ke Aer Mata, rombongan langsung melanjutkan perjalanan melintasi sisi utara pulau Madura menuju kecamatan Pasongsongan, Sumenep.

Bersambung.


 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama