Ul-Daul, Musik Tradisional Madura yang Fenomenal


Bulan Ramadhan seperti sekarang merupakan waktu untuk pagelaran musik tradisional bagi Kabupaten Sampang. Setiap tahun selalu menggelar pertunjukan musik Ul-daul, seperti yang dilakukan kemarin (15/8). Sebenarnya Ul-daul itu apa dan bagaimana sejarahnya, tulisan di bawah ini dapat memberikan gambaran kepada kita semua tentang sejarah musik tradisional, Ul-daul.
Ul-daul, bagi masyarakat Madura, merupakan fenomena seni (musik) tradisi yang mulai banyak diminati masyarakat. Un-daul, pada prinsipnya sebagai musik perkusi yang tidak banyak membutuhkan pengalaman musik dalam memainkannya. Fenomena Un-daul sebenarnya merupakan pengembangan musik Tong-tong, yang sejak awal menjadi musik yang berciri khas Madura yang dimainkan dengan pukulan monoton namun melahirkan irama dinamis sebagaimana musik-musik perkusi umumnya.

Sebagai musik. Tong-tong, membuhkan alat-alat sederhana yang didapat disekitar masyarakat yang semuanya terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis ukuran yang terbuat dari potongan bambu; dari mulai ukuran besar panjang sekitar setengah sampai satu meter dengan diameter 40 – 50 cm, yang akan melahirnya bunyi besar. Sedangkan ukuran berikutnya, makin mengecil sesuai dengan kebutuhan irama. Ketika ditabuh (dipukul dengan potongan kayu), masing-masing penabuh memiliki pukul statis/monoton, namun keberagaman jenis dan ukuran yang beda akhirnya menjadi irama harmonis dan indah.

Musik Tong-tong, (kerap disebu untuk wilayah Kabupaten Sumenep, pernah dikembangkan menjadi musik “Ghursah”, yaitu musik ini dikembangkan sebagai bentuk pengiring lagu-lagu, yang umumnya lagu-lagu Madura oleh penyanyinya, dengan tetap mepertahankan musik perkusi. Namun dalam musik Ghursah dibengkan dengan alat-alat musik lebih besar, bukan saja terbuat dari bambu, tapi juga terbuat dari balok kayu. Tong-tong atau ghursah kerap disebut, dhung-dhung, bung-bung, dan sebutan lainnya.

Musik Ghursah ini, spesifikasinya ditampilkan dalam penampilan terbuka sebagai tontonan umum. Bahkan untuk acara hajat perkawinan, maupun acara-acara penyambutan tamu; tamu kunjungan maupun tamu wisata. Tapi disayangkan, musik Ghursah ini hilang begitu saja.

Ul-daul, Pengembang Musik Tong-tong. Sebagaimana musik Tong-tong, Ul-daulpun awal pengembangannya diperagakan sebagai musik patrol sahur, namun dalam perkembangannya musik Tong-tong kurang diminati, lantaran – barangkali – alat-alat musik lain mulai dipegunakan para patroli sahur. Bahkan bukan alat-alat musik yang mulai terjadi perubahan, alat suara (sound system) jauh lebuih praktis dan nyaring dimanfaatkan kelompok patrol ini berkeling kampung. Dari sinilah tradisi patrol sahur dalam bulan Ramadlan semakin langka.

Entah bagaimana awalnya, tampaknya ada kesepakatan tidak tertulis dari pelaku patrol sahur. Barangkali mereka (patroli sahur) termotivasi fenomena musik di Indonesia, sehingga musik Tong-tong dikembangkan lagi menjadi lebih proporsional. Alat-alat musik tidak ada bedanya dengan alat musik sebelumnya, namun disini dilengkapi intrumen baru, meski sangat sederhana. Contoh misal, untuk melahirkan irama melodi mereka gunakan alat musik gamelan peking, atau untuk tambur, mereka galon minuman mineral untuk melahirkan bunyi bas, dan lainnya.

Sama dengan Ul-daul, alat musik yang digunakan tentu lebih besar dan lebih lengkap. Pembentuk irama misal beberapa alat musik peking, kenong, kendang serta alat wajibnya yaitu tong-tong, dung-dung, dug-dug, bung-bung dan sejenisnya mencipkan suara lebih dinamis dan menggetatkan. Apabila ditambah sound system yang memekakkan terima. Wahh, gemuruh rasanya.


Marakkan Ul-daul (sampai sekarang siapa awal pencipta dan pemberi nama Ul-daul, belum diketahui), tapi sebagian orang berpendapat, kata Ul-daul, berasal dari kata “gaul”,ul-gaul”, dan dipraktiskan menjadi “ul-daul”. Dalam pengucapkan dan uangkapan orang Madura, misal: sebutan anak laki-laki “kacong” tapi kerap dipanggil “encung”, untuk perempuan “cebbhing”, tapi juga dipanggil “embeng”, atau nama-nama yang berahir dengan kata ……..udin, maka mereka akan dipanggil “Endin” atau “Ending” dan seterusnya. kemudian diucapkan dalam bahasa Madura menjadi “Sebagaimana kerapan sapi, festival Ul-daul pada akhirnya menjadi ajang prestise bagi para pesertanya. Bukan hanya musik yang ditampilkan, tapi lebih jauh dalam peragaan penampilan dengan berbagai bentuk san asisoris sangat dominan sebagai bentuk kemeriahan penampilan. Apalagi penampilan dalam festival Ul-daul didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah di wilayah  Madura, sehingga antutias peserta semakin meningkat dengan berbagai motivasinya.

Lagi-lagi, sebagaimana kerapan sapi, penampilan dalam festival Un-daul memakan beaya cukup besar, konon kabarnya untuk beaya satu set lengkap alat musik Ul-daul bisa mencapai 30 – 40 juta. Dan dalam proses penggarapan media pendukung, tidak cukup dilakukan satu hari ditempat start menjelang festival. Dan bahkan kelap kelip lampu dan lampu sorot (bahkan strobo light) menjadi ornamen kemeriahan dari masing-masing peserta, termasuk didalamnya pengeras suara (sound system kapasitas besar), serta diesel tenaga listrik selama perjalanan festival berlangsung.

Namun kenyataannya, Ul-daul bukan hanya ditampilkan pada saat patrol sahur bulan Ramadlan saja, tapi justru berkembang menjadi tontonan pada saat peringatan hari-hari besar nasional, maupun acara tutup ajaran sekolah, imtihanan, bahkan peringatan hari-hari besar Islam. Sebab dalam menyajikan lagu-lagu, Ul-daul dapat menyesuaikan kondisi lagulagu yang dibutuhkan dimana dia tampil, bisa lagu-lagu Madura, atau lagu-lagu Islami yang kerap dilantunkan dalam musik qasidah. Lebih menarik lagi, musik Ul-daul telah merambah penampilannya di berbagai wilayah, kota-kota besar dan daerah lainnya, dengan mendapatkan antusias dan sambutan yang cukup menggembirakan. Maka tidak ayal, bila musik Ul-daul menjadi fenomena musik tradisi masyarakat Madura. Selanjutnya apalagi?

Sumber : Lontar Madura | Oleh: Syaf Anton Wr | Repost dari : Sampang.web.id

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama