Hadrah, Seni Musik Favorit Di Madura

[caption id="attachment_3098" align="aligncenter" width="613"] Ilustrasi: Hadrah di Madura[/caption]

Pius A Partanto dalam kamus Ilmiah Populer (arkaloka, 1994) mengartikan seni sebagai segala yang berkaitan dengan karya cipta yang dihasilkan oleh unsur rasa. Cita rasa “seni” itulah yang terkadang menginspirasi masyarakat pencipta seni musik dalam berkreativitas dan berkarya, sehingga menghasilkan bermacam-macam aliran seni musik.


Di dalam tulisan ini, saya akan sedikit banyak membahas mengenai seni musik hadrah. Salah satu seni musik yang digemari oleh masyarakat Madura hingga saat ini terutama masyarakat pedesaan dan beberapa para kyai di kepulauan Madura. Musik ini, kerapkali digunakan untuk mengiringi kegiatan-kegiatan besar semisal penyambutan jama’ah haji dari Mekkah ataupun perkawinan serta beberapa pengajian akbar di Madura.


Sejarah tentang beberapa musik yang pernah berkembang di Madura, ditulis oleh Helena Bouvier seorang peneliti dari Perancis yang bertahun-tahun tinggal di Madura ini. Wanita ini, cukup mendetail melakukan penelitian tentang masyarakat Madura. Salah satunya adalah musik hadrah, dalam penelitiannya itu, Helena Bouvier menulis seperti ini


“Hadrah adalah seni khas laki-laki. Dasarnya adalah qasidah yang merupakan dasar pelajaran penabuh dan penari sebelum mereka mulai memukul tambur datar (rebana atau rebbana) atau mulai gerak dasar dari koreografi di dalam posisi duduk (Ruddad) atau berdiri (Zaf). Qasidah dalam musik hadrah pada umumnya berasal dari kitab haddrah (atau Dewan Hadrah) Kitab Barzanji atau Kitab Diba’”.


Seni musik hadrah selalu menampilkan lima penabuh rebana dan juga disertai jidur. Dari alat-alat itulah akan terdengar bunyi dan lagu yang memesona bagi para pendengarnya. Dan dari lima penabuh rebana, ada satu hadi (vocal) dan ada pula backing vokal.


Istilah haddrah dan hadrah berasal dari bahasa Arab. Yaitu “hadir” atau “hadlir” yang mengacu kepada kehadiran di hadapan Allah. Haddrah kadang-kadang ditulis hadrah, tetapi ejaan yang pertama adalah ejaan Madura (Helena Bouvier : 214).


Killiaan mencatat “ Hadrah” pujian kepada Allah dengan iringan tambur kecil. Istilah ruddad mengaju sekaligus pada sahutan paduan suara kepada pemimpin pertunjukan yang juga penari-penyanyi, yaitu hadi, serta gerak tari yang menyertai paduan suara itu.


Kesenian ini konon diciptakan oleh seorang ulama di madinah atau di mekkah.  Namun, Pigeaud tidak mencatat penyebaran kesenian ini sampai ke Madura. Namun, Sunario, ahli hadrah dari Sumenep tahun 1929 telah mengenal Hadrah, Samman, dan Gambus sejak muda. Di Sumenep pula, ada guru dari sumenep Zainal Arifin dan A. Bin Ta’lab. Tokoh ini sering menciptakan lagu baru dan merekamnya di dalam kaset. Kreasinya ini kemudian ditiru oleh beberapa kelompok di sekitar Sumenep dan di luar Sumenep.


Bahkan setiap Molod Nabbi (Maulid Nabi), setiap tahun selalu diadakan kompetisi hadrah antar semua kelompok hadrah di Sumenep yang kemudian dikompetisikan di Masjid Besar Sumenep. Di luar Sumenep sendiri, tepatnya di Kabupaten Bangkalan, jenis musik ini masih eksis terutama di Ponpes Syaichona Kholil Demangan atau di Lebak Bangkalan dan  di Dusun Keramat Ujung Piring Bangkalan.


*Untuk lebih jelas mengenai musik hadrah silahkan telusuri di dalam bukunya, Bouvier, Helena. 2002. Lebur, Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Yayasan Obor : Jakarta.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama