Dunia literasi bagi sebagian besar masyarakat Madura masih merupakan suatu hal yang sangat istimewa. Kegiatan membaca dan menulis adalah pekerjaan eksklusif, bahkan bagi kalangan remaja yang masih duduk di bangku sekolah sekalipun. Tak banyak dari mereka yang menganggap aktivitas ini sebagai sebuah kebutuhan, kecuali hanya sekadar menghabiskan waktu luang.
Fakta tersebut, salah satunya, bisa dilihat dari masih besarnya angka buta huruf yang dirilis oleh Dinas Pendidikan Jawa Timur tahun 2012, di mana Madura memiliki angka buta huruf sebanyak 273.096 orang dari jumlah penduduk sebanyak 4 juta lebih. Angka itu merupakan akumulasi dari jumlah warga buta huruf yang tersebar di empat kabupaten di Madura, yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan.
Angka di atas mungkin masih bisa ditinjau ulang karena rumor yang berkembang menyebutkan bahwa ia bisa dimanipulasi. Membengkakkan angka buta huruf memiliki efek terhadap jumlah kucuran dana yang digelontorkan pusat kepada daerah bersangkutan untuk program penanggulangannya.
Angka tersebut sebenarnya tidak terlalu pas jika ingin melihat bagaimana aktivitas literasi dalam kehidupan masyarakat Madura. Hal itu karena belum tentu orang yang sudah tahu menulis dan membaca akan menganggap keduanya adalah kegiatan yang sangat penting. Boleh jadi mereka hanya sekadar bisa menulis dan membaca tanpa menjadikannya kegiatan sehari-hari. Nah, karena itu, jumlah warga yang menganggap aktivitas literasi tidak penting bisa lebih besar dari jumlah warga buta huruf tersebut.
Angka buta huruf di atas penulis letakkan sekadar untuk menemukan titik terendah dari aktivitas literasi dalam kehidupan masyarakat Madura. Sebab, selama ini belum ada penelitian khusus tentang literasi di Pulau Garam ini.
Jika ingin mengabaikan angka tersebut, sebaiknya kita melihat fakta langsung di lapangan. Dari sejumlah lembaga pendidikan yang penulis kunjungi di beberapa daerah di Sumenep menunjukkan bahwa wawasan mereka terhadap perkembangan informasi masih sangat minim. Kebanyakan yang mereka konsumsi adalah informasi tentang hiburan dan tren masakini. Parahnya, mereka mengkonsumsi informasi tersebut dari televisi.
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa hanya sedikit pecinta literasi dari kalangan remaja kita.Televisi telah menjadi pusat informasi paling utama dalam kehidupan mereka, menggantikan buku, majalah, koran dan lainnya. Budaya lisan nyatanya masih menjadi hal utama dalam penyampaian informasi.
Oleh karena itu, adanya komunitas semacam Plat-M dan komunitas lainnya yang bergerak dalam bidang edukasi, bisa melihat hal ini sebagai sebuah peluang untuk membuat mereka lebih mencintai kegiatan membaca dan menulis.