Legenda Batu Cenneng di Desa Sema'an Sumenep

selamat datang di batu cenning

Konon di pulau Madura, tepatnya di kadipaten Sumenep berdiamlah sebuah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan dua orang anak kembarnya. Kedua anak tersebut bernama Nuron dan Rokip. Mereka sama-sama belajar ilmu agama Islam di sebuah mandala pimpinan Kyai Marur.

Nuron adalah anak yang cerdas dan pandai. Ia sangat bangga dengan kecerdasan dan kepandaian yang dimilikinya. Sedangkan Rokip mempunyai kemampuan yang biasa-biasa saja seperti anak-anak pada umumnya, namun dia berperangai yang lebih sopan dan santun kepada sesama.

Pada suatu hari setelah selesai pengajian keduanya dipanggil Kyai Marur.

“Kalian dipanggil kesini berkaitan dengan neng-cenneng, kamu tahu kan apa itu? Nak, neng-cenneng itu sebagai tanda pelajaran akan dimulai atau tanda pelajaran sudah usai dan itu sudah lumrah digunakan di tanah Jawa ini.”

“Apakah itu berarti Kyai akan memilih diantara kami untuk bertugas membunyikan neng-cenneng itu Kyai?” tanya Nuron langsung tanggap karena memang cerdas.

“Ya, itupun kalau salah satu diantara kalian bersedia.” Kata Kyai

“Sebelumnya saya minta maaf, kyai. Apakah anak yang bertugas menjadi pemukul neng-cenneg itu tidak ikut pengajian?” tanya Nuron kembali.

“Seperti santri-santri sebelumnya memang yang bertugas memukul neng-cenneng itu tidak ikut pengajian karena harus memberi tanda pada setiap pergantian jam.” Kata Kyai.

“Sekali lagi minta maaf, karena tujuan saya ke sini mau belajar kitab kuning, maka saya akan tetap istiqomah pada tujuan saya, Kyai” Jelas Nuron.

“Bagaimana denganmu Rokip, apakah pendapatmu sama dengan Nuron?” tanya Kyai Masrur.

“Tidak Pak Kyai, apabila memang Kyai berkenan tugas itu diberikan kepada saya, saya ta’zim Kyai.” Kata Rokib

“Kalau begitu mulai besok kamu yang menjaga neng-cenneng itu, saya berharap kamu dapat menjaga kepercayaan yang saya berikan. Sekarang kembalilah ke kamarmu.” Nasihat Kyai Masrur kepada Rokip.

Sejak saat itu Rokop sering tidak ikut pengajian karena harus menjaga neng-cenneng. Dia mengatur waktu pengajian dengan tepat dan mampu melaksanakan kepercayaan yang diberikan Kyai Masrur dengan penuh tanggung jawab. Kyai Masrur semakin senang kepada Rokip. Nama Rokip selalu disebut-sebut oleh Kyai Masrur di depan santri-santri lainnya sebagai contoh anak yang amanah. Perasaan iri mulai tumbuh di hati Nuron.

“Sekarang Tokip menjadi santri kesayangan Kyai Masrur.” Kata Durrahem, salah seorang santri.

Mendengar hal itu kuping Nuron semakin panas.

“Ya, memang itu keahlian Rokip paling jago kalau ngambil muka di depan Kyai Masrur. Karena dibanding aku, dia tidak ada apa-apanya.” Kata Nuron ketus

“Nuron, kamu dipanggil Kyai.” Kata salah seorang santri.

Nuron pun mendatangi kediaman Kyai Masrur, ternyata di sana sudah ada Rokip.

“Assalamualaikum, apa benar Kyai memanggil saya?”

“Waalaikumsalam. Ya, silahkan duduk!” Jawab Kyai Masrus.

“Sengaja saya memanggil kalian berdua, karena tiga hari lagi saya harus pergi ke tanah Jawa. Maka untuk sementara, salah satu diantara kalian berdua harus menggantikan saya morok kitab kuning di pondok. Siapa diantara kalian yang bersedia?” tanya Kyai Masrur.

“Maaf, Kyai kalau dari segi kemampuan yang pantas menggantikan Pak Kyai adalah saya. Karena saya selalu mengikuti pengajian sedangkan Rokip hanya menjaga neng-cenneng.” Kata Nuron.

“Bagaimana menurutmu Rokip?” tanyai Kyai Masrur.

“Apapun keputusan Pak Kyai, saya ta’dzim.” Jawab Rokip mantap.

“Kalau begitu, saya memilih kamu Rokip untuk menggantikan saya morok, dan sekarang kembalilah kalian ke pondok!”

Kyai Masrur lebih memilih Rokip karena keta’dzimannya kepaga guru. Tanggung jawab dan keikhlasannya dalam melaksanakan setiap tugas yang diberikan kepadanya.

Rasa iri dalam diri Nuron semakin menjadi-jadi. Akhirnya dia menyusun rencana untuk menghancurkan nama baik Rokip di depan Kyai dan teman-temannya.

beto cenneng

Keesokan harinya, sehabis subuh Rokip betapa sangat terkejut karena ternyata neng-cenneng itu tidak ada di tempatnya. Dia bingung dan ketakutan. Karena sebentar lagi di harus memukul neng-cenneng itu sebagai tanda pengajian dimulai. Di tempat lain Nuron bersembunyi seraya tertawa melihat Rokip kebingungan. Dalam keadaan bingung akhirnya Rokip naik ke sebongkah batu besar dan agak bundar. Dia bermunajah kepada Tuhan memohon pertolongan dengan air mata berlinang. Sayup-sayup terdengar dari setiap air mata yang jatuh berbunyi neng…nang…neng… yang begitu nyaring. Dalam keadaan tidak percaya dia membuka matanya mencari sumber bunyi itu. Ternyata benar, bunyi itu bersumber dari sebongkah batu yang dia duduki tadi. Dia pun memukul batu itu dengan tangannya sambil berteriak,

“Semma’… Semma’ Pa Semma’… Kabbhi ka Langgar ban ka Guru.”

Suara Rokip terdengar oleh Kyai Masrur yang masih di tanah Jawa. Dia pun berkata:

“Sema’an.. Sema’an… Kakabbhi.”

Akhirnya desa ini pun di beri nama Sema’an dan batu cenneng itu pun sampai sekarang masih berbunyi neng…neng… ketika dipukul dengan batu atau benda lainnya. Berbeda dengan bunyi batu-batu pada umumnya yang dipukul. Batu cenneng itu ada di desa Sema’an, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep tepatnya di 100 meter sebelah selatan Pondok Pesantren Al-Barokah.

Oleh: Andilala, S.Pd. SD
Ditulis dari berbagai sumber dan cerita tutur di desa Sema'an Kecamatan Dasuk Kabupaten Sumenep

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama